بسم الله الرحمن الرحيم

Memilih PEMIMPIN

Pilih pemimpin lihatlah dari : agamanya, budi pekertinya dan apakah ada niatan terselubung setelah jadi pemimpin (ini yang terpenting..!), ya mbok care sedikitlah dalam memilih, lihat tuntunan Al-Qur'an & Hadist... hati-hati mas/mbak/kang/neng dalam memilih pemimpin karena akan berakibat langsung/tidak langsung pada kehidupan kita didunia maupun di akhirat kelak... Jangan tergoda kenikmatan duniawi yang disodorkan / ditawarkan (iming-iming agar dapat jadi pemimpin) oleh calon pemimpin, Setelah menjadi pemimpin, maka niatan terselubung akan dijalankan , sehingga akan merugikan kita dan anak cucu kelak diakhirat... Keputusan anda dalam memilih pemimpin yang sesuai dengan Islam adalah merupakan jihad karena membela agama Islam.

Alloh menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Alloh). (QS 2:269)

Manusia diberikan kebebasan selama menjalani hidup didunia dimana kebebasan tersebut akan dimintai pertanggung jawaban nanti di akhirat
Cukuplah Dengan Kematian Itu Suatu Pelajaran (Al Hadist)

Ilmu merupakan perbendaharaan, kuncinya adalah bertanya, karena itu bertanyalah kalian, semoga Alloh melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian. Sehubungan dengan masalah ini ada empat orang yang diberi pahala, yaitu : orang yang bertanya, orang yang mengajarkan ilmu, orang yang mendengarkan ilmu dan orang yang mencintai ketiganya (HR Abu Na’im melalui Ali K.V)

Rabu, 24 Desember 2008

Pergulatan Menyibak Hijab


HIKMAH "
" Pergulatan Menyibak Hijab "
Semua manusia, hakikatnya berjalan menuju Alloh. Namun jalan yang harus ditempuh tidaklah mudah, karena di sana terhampar ribuan hijab yang menghalangi. Untuk itu, dibutuhkan ketangguhan iman dan ilmu agar dapat memenangkan pergulatan demi pergulatan menyibak hijab, sehingga selamat sampai di Mahligai-Nya.

Anugerah terbesar bagi seorang hamba adalah ketika bisa mengenal dan berjumpa dengan Alloh. Ketika itu tidak ada lagi istilah predikat hamba dan Tuhan, yang ada adalah ke-Esa-an wujud-Nya. Tetapi untuk bisa berjumpa dengan Alloh, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu beramal shaleh dan tidak syirik dalam beribadah walau dengan seorang juapun.

Sebagaimana firmannya dalam Surat Al Kahfi : ayat 110

Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya".
Dalam muqadimah kitab Ad Durun Nafis dijelaskan: Salah satu yang dapat menghalangi untuk sampai kepada Alloh adalah syirik, baik syirik jali (nyata) maupun syirik khafi (tersembunyi). Tidak sedikit orang yang syirik dalam menjalankan ibadah, seperti berharap kepada selain Alloh,padahal seorang hamba hanya boleh berharap kepada Alloh. Syirik dapat menjelma jadi hijab yang menutup dan membutakan mata hati. Akibatnya, seseorang tidak dapat memandang hakikat di balik yang dipandang dan hanya terjebak pada pandangan lahiriah. " (Al Isra': 72).


"Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)".

Buta yang dimaksud dalam ayat tersebut, bukan buta lahiriah melainkan buta secara batiniah, yaitu buta mata hati. Buta mata hati, menyebabkan seseorang tidak memiliki kepekaan menangkap tanda-tanda kebesaran Tuhan, sehingga tidak dapat menyaksikan keindahan sifat-sifat Alloh yang bertebaran di wilayah ruhani dan duniawi. (Al-Imran: 193)


Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu", maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.
Syahwat duniawi ================= Ada dua faktor yang dapat menghijabi hamba dalam memandang Alloh, yaitu syahwat duniawi dan syahwat ruhani. Dua syahwat tersebut berpotensi menjadi hijab seseorang, antara lain keinginan untuk meraih derajat dunia dan akhirat. Dunia kaitannya dengan adat tabiat, sedangkan akhirat berkaitan dengan derajat ruhani.

Syahwat duniawi
ialah rasa cinta yang berujung ingin memiliki dan menguasai apa saja yang ada di sekeliling kehidupannya. Sehingga seluruh ruang hatinya dipenuhi oleh rasa cinta sesuatu, hingga lupa kepada Alloh.
Contohnya: Rasa cinta yang tumbuh kepada suami, istri, anak, harta, dan lain sebagainya seperti diisyaratkan dalam firman-Nya (Al-Imran: 14):


"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Alloh-lah tempat kembali yang baik (surga)".
Ketika seorang suami sangat mencintai istrinya, kemudian dengan cintanya itu sampai lupa memandang Alloh, maka perempuan tersebut menjadi hijab bagi suaminya. Selama seorang suami mencintai istri, tidak mungkin mencintai Allah. Begitu juga sebaliknya, seorang istri yang mencintai suaminya, tidak akan bisa mencintai Alloh.
Perlu dipahami di sini, bahwa sesungguhnya Alloh itu pencemburu. Jika ada seorang hamba yang berani mengambil resiko dengan mencintai selain diri-Nya, maka jangan harap akan sampai keharibaan-Nya. Tapi jika suami istri tersebut menerapkan cintanya sesuai dengan kaidah tauhid, yakni sebagai penjabaran dari cintanya kepada Alloh. Maka cintanya itu tidak menjadi hijab, bahkan bisa menjadi pemicu untuk merobek tirai-tirai Ilahi.

Syahwat ruhani
Disamping syahwat duniawi, ada pula syahwat ruhani yang menjadi hijab. Syahwat ruhani itu bersifat kemegahan dan kenikmatan akhirat, termasuk di dalamnya keinginan untuk mendapatkan rahasia-rahasia yang ada wilayah ruhaniah. Seperti mendambakan derajat ruhani yang tinggi sampai ma'rifah, mendapat anugerah bisa keluar masuk alam jin, jadi waliyullah yang bisa bertamasya melihat-lihat syurga dan neraka, bahkan ingin jadi orang yang sempurna di wilayah ruhani dan sebagainya. Semua keinginan tersebut, sekalipun baik maksudnya, namun bisa menjadi hijab bagi orang yang sedang menuju Alloh. Karena keinginan tersebut, merupakan angan-angan yang muncul dari syahwat yang tersembunyi (syahwatul khafiah). Hal itu juga dapat memalingkan perjuangan orang yang menuju Alloh.

Cinta & Hijab
Pertama kali Alloh menebar hijab adalah ketika Adam as. dan Hawa di ciptakan. Dalam hubungan Adam-Hawa itulah mula-mula adanya gambaran jelas tentang hijab. Kemudian contoh konflik antar para Malaikat ketika menyikapi penciptaan manusia. Konflik berlanjut di syurga tatkala para Malaikat diperintahkan untuk menghormati Adam as., ternyata ada Malaikat yang menolak, karena dirinya merasa lebih tinggi derajatnya dari manusia, terutama dari asal penciptaan Adam as. sebagai manusia pertama.Ketidak patuhan Malaikat tersebut akibat terhijab oleh keangkuhannya.
Tidak hanya sampai disitu, ternyata Alloh pun memberi rambu-rambu di syurga, tatkala Adam as. di pertemukan dengan Hawa, sebagaimana dibentangkan larangan untuk tidak mendekati sebatang pohon, yang ternyata berbuah khuldi. Pergulatan Adam as. dalam menghadapi larangan Alloh, tidaklah ringan. Karena di sana Adam as, di uji cintanya kepada Hawa sekaligus kepatuhannya pada All0h.
Sejarah mencatat, ternyata keimanan Adam as., dapat diruntuhkan oleh rasa cintanya kepada Hawa, sehingga ia berani mengambil resiko untuk memetik buah khuldi. Itulah hijab cinta yang ada pada diri Adam as. Pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut. Yang baik dan benar: Mencintai suami atau istri, wajib dilandasi oleh kepatuhannya kepada Alloh, bukan sebatas cinta yang dipicu oleh syahwat.
Pada kasus lain, dapat dilihat dalam sejarah Nabi Ibrahim as. dengan anaknya Nabi Ismail as.. Betapa berat pergulatan batin Nabi Ibrahim as. ketika beliau harus meninggalkan istri dan anaknya yang baru dilahirkan, hanya untuk memenuhi panggilan Alloh berdakwah ke negeri lain. Selama bertahun-tahun Siti Hajar juga harus berjuang membesarkan anaknya seorang diri di tengah padang pasir yang tandus. Pergulatan batin Siti Hajar pun tidak ringan. Namun ternyata tidak hanya sampai di situ. Ujian bagi Nabi Ibrahim as. dan Siti Hajar, berlanjut dengan turunnya perintah Alloh pada Nabi Ibrahim as., untuk menyembelih anak semata wayang yang baru dijumpainya. Namun karena Nabi Ibrahim as. sangat patuh dan mengutamakan kecintaannya kepada Alloh, ketimbang kecintaannya kepada anak dan istrinya, maka luluslah Nabi Ibrahim as. dalam ujian tersebut. Sejarah itu merupakan tonggak awal munculnya ibadah nusuk (pengorbanan), yang kini disempurnakan menjadi ibadah haji. Nabi Muhammad saw. pun banyak mengikuti syariat Nabi Ibrahim as. yang dikenal sebagai Abu Tauhid (Bpk ahli Tauhid) (An-Nahl: 123).


Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

Dengan semakin majunya peradaban manusia, yang dibarengi dengan pesatnya perkembangan teknologi dan pengetahuan, ternyata tidak serta merta membuat manusia menjadi tambah santun dalam menghadapi konflik kehidupan. Berbagai persoalan kerap dinilai hanya sebatas lahiriahnya. Itu adalah salah satu akibat dari kesibukan mengurus kebutuhan duniawi yang tak ada habis-habisnya, sehingga kekurangan waktu untuk merenung dan menyadari keberadaan Alloh di setiap kejadian.
Bagaimana mungkin bisa mendekatkan diri pada Alloh (taqarrub), selama hati seorang salik masih diliputi oleh rasa cinta kepada istri, suami, anak, keluarga, harta benda dan sebagainya. Karenanya, "ceraikan" semua itu dari dalam hati, cukup ditempatkan dalam jiwa. Cintailah Alloh dengan sepenuh hati, jangan biarkan sesuatu selain Alloh memenuhinya.
Karena hati orang yang beriman itu rumah Alloh. Rumah Alloh, haruslah bersih dari segala sesuatu selain diri-Nya. Sebab anak, istri, suami, harta, pangkat, dan jabatan itu bisa menjadi hijab untuk mencintai Alloh dan sekaligus menjadi ujian dan cobaan . (At Taghaabun: 15).


"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Alloh-lah pahala yang besar".

Karena itu, jangan mudah terpesona pada segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Karena dunia diciptakan sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman.Bagi para ahli tasawuf dunia bahkan dianggap sebagai penjara yang terlaknat. Sebagaimana yang tertera pada kitab Siarus Salikin: "Dunia itu terlaknak, bagi barangsiapa yang ada di dalamnya, maka ia akan ikut terlaknat, kecuali yang berada di jalan Allah". Pada hakikatnya seseorang tidak bisa menguasai dunia, karena apa yang dimiliki hanya sebatas yang dipakai, seperti baju dan perhiasan. Begitu pula rumah mewah, hanya bisa dinikmati sebatas yang di tempati.Singkatnya, apa saja yang ada pada seorang hamba hakikatnya milik Alloh.Karena itu, jalan terbaik satu-satunya adalah mengembalikan semuanya kepada Alloh.

Ribuan hijab
Banyak hal di dunia ini dapat menjadi hijab bagi seseorang dalam memandang Alloh Dalam hadis qudsi dinyatakan: "Bahwa Alloh menghijabi diri-Nya dengan 70.000 hijab." Pengertian 70.000 hijab jangan dipahami secara lafzhiah (tekstual), namun lebih tepat dipahami secara maknawi (subtansi). Artinya, bahwa Allah sengaja menciptakan ribuan hijab, supaya orang yang berjalan menuju kepada-Nya melakukan perjuangan menyingkap hijab. Sehingga dengan demikian, kualitas keimanan dan keyakinan seseorang teruji.
Perjuangan untuk berjumpa dengan Alloh dengan segala rintangannya diibaratkan orang mencari mutiara di laut. Untuk mendapatkan mutiara berkualitas baik, seseorang harus mampu menyelam sampai ke dasar.Padahal semakin dalam menyelam, panorama laut semakin indah. Meski ikan berwarna warni dan karang yang mempesona terkadang menyimpan bahaya, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya. Dan bagi siapapun yang tidak waspada, semua itu dapat melenakan dan membuat lupa pada tujuan utamanya (mendapatkan mutiara).
Ungkapan tersebut di atas, merupakan metafor yang menyiratkan betapa sulitnya proses menyingkap hijab dalam perjalanan menuju Sang Khaliq. Sesungguhnya bukan sesuatu yang menghijabi Alloh, bukan pula sesuatu yang menjadikan Alloh majhul (bodoh), melainkan pandangan seorang hamba yang terhijab. Hakikatnya yang menjadi hijab adalah zhan (baca: zon atau prasangka), apakah itu prasangka baik atau pun prasangka buruk dalam memandang sesuatu. Alloh sendiri menyuruh hamba-bamba-Nya untuk menjauhi prasangka. (Al Hujarat: 12).

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya Alloh tidak terhijabi. Namun manusia dengan segala keterbatasan pandangnya yang kerap membuat Alloh terhalang. Hal itu bisa terjadi karena zhan atau prasangka yang dibiarkan tumbuh subur dalam hati dan pikirannya. Padahal zhan atau prasangka itu ibarat virus kanker yang mematikan.Sekecil apapun pemunculannya, harus diwaspadai dan segera diambil tindakan agar penyebarannya tidak menjalar keseluruh tubuh.
Zhan atau prasangka tersebut muncul dalam berbagai sendi kehidupan. Diantaranya pangkat, jabatan, materi, anak dan masih banyak lagi.Kelebihan maupun kekurangan fisik juga termasuk zhan yang terkadang membuat seseorang salah persepsi terhadap Alloh. Kecantikan berlebih memunculkan kesombongan, sementara cacat fisik bisa membuat seseorang sibuk merasa rendah diri sehingga tidak sempat mencari tahu makna dari rencana penciptaan Yang Maha Kuasa. Untuk menjernihkan hati dan mngembalikan kesadaran, perlu proses panjang melalui riyadhah dan mujahadah.

Wujud hijab
====================
Hijab itu pada hakikatnya tidak berwujud, karena tidak ada wujud apapun selain wujud Alloh. Sebagaimana Syekh Ibn 'Athaillah menyatakan: "Dan salah satu yang menunjukkan wujud Ke-Maha Perkasaan Alloh adalah terhijabnya kamu oleh sesuatu yang sebenarnya tidak ada wujudnya." Para arifin billah telah sepakat bahwasanya sesuatu selain Alloh hakikatnya 'adam mahdhi artinya: tidak ada wujud yang berdiri dengan sendirinya, melainkan manifestasi dari wujud-Nya. Apabila menganggap ada wujud yang berdiri sendiri selain wujud Alloh, berarti telah terjebak pada syirik dan hilanglah kemurnian tauhid yang sesungguhnya.
Faktor penyebab hijab bagi orang yang menuju kepada Alloh, adalah memandang wujud selain Alloh itu ada. Alloh menciptakan segala wujud akwan (keadaan) ini dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Karena wujud tiap sesuatu itu hakikatnya adalah dengan-Nya, bagi-Nya dan serta-Nya. Alam semesta hakikatnya 'adam (tidak ada).
Keadaan apapun hakikatnya juga tidak ada, karena yang maujud (ada) hanya Alloh. Karena wujud alam pada hakikatnya tidak ada, jika menjadi ada dalam pandangan seseorang, maka itulah yang menjadi hijab dalam memandang wujud Alloh. Syekh Abul Hasan As Sadzili ra. berkata, " Bahwasanya kami memandang Alloh dengan mata Iman dan yaqin. Hal itu telah menjadi alasan kami untuk senantiasa memandang Alloh. Dan kami bertanya tentang keberadaan makhluk, adakah wujud makhluk sebagai sesuatu selain Alloh?
Jawabnya: Ternyata kami tidak menemukan wujud selain Alloh. Apabila ada wujud selain Alloh, maka hal itu merupakan sebuah fatamorgana yang bila dicari dan dikejar tidak akan ditemukan." Pada hakikatnya tidak ada sesuatu yang mendindingi Alloh, kecuali diri makhluk itu sendiri. Kalau ada yang menganggap Allah terhijabi, berarti orang tersebut belum mengerti hakikat hijab. Bagaimana mungkin Alloh bisa dihijabi oleh sesuatu, padahal Alloh Maha segala-galanya. Kalau Alloh terhijab sesuatu, berarti ada suatu kekuatan lain yang mampu menghijabi Alloh. Kalau ada sesuatu yang lebih kuat menghijabi Alloh, berarti Alloh majhul (terpedaya), berarti juga ada yang lebih dominan daripada Alloh. Maha Suci Alloh dari sangkaan orang-orang yang tertutup mata hatinya.

Kedekatan-Nya
====================== Bagaimana Alloh terhijabi sementara Dia begitu dekat kepada hamba-hamba-Nya (Qaaf: 16 )


Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,


Ayat tersebut menegaskan keberadaan Alloh yang sangat dekat kepada hamba-hamba-Nya. Jika dibuat misal, maka kedekatan Alloh dengan hamba bagaikan ruh dengan jasad. Bagaimana bisa, jasad mencari ruh, sementara ruh meliputi jasad. Ruh tak akan tampak tanpa adanya jasad. Jasad tak akan hidup tanpa adanya ruh.
Kendatipun dua hal tersebut berbeda wujud, namun hakikatnya satu dalam arti melengkapi pada kenyataan wujud. Tergantung dari sisi mana melihatnya. Apapun yang terlalu dekat, bisa menjadi hijab.
Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang jauh juga bisa tidak terlihat. Maka tidak terlihat itu juga hijab. Sengaja Alloh menciptakan hijab bagi diri-Nya dibalik alam semesta ini, karena tidak ada yang mampu menghijabi Alloh kecuali Alloh. Karena hakikatnya tidak ada suatu apapun melainkan perwujudan-Nya.
Alloh menghijabi diri-Nya dengan berbagai cara, diantaranya dengan menciptakan akal dan nafsu. Akal dapat menjadi hijab bagi hamba dalam memandang Alloh karena akal bersandar kepada dalil-dalil logika yang rasional. Dengan rasionalitasnya akal akan menuntut fakta yang riil dan menolak hal-hal yang bersifat abstrak dan irasional. Sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal, tidak riil dan tidak rasional, dianggap sebagai kemustahilan bagi akal.
Disitulah munculnya hijab. Sementara akal dan rasio tidak akan mampu menjangkau kedalaman wilayah ketuhanan. Ada keterbatasan-keterbatasan yang membelenggu akal dan rasio dalam memahami wilayah ketuhanan. Karena keterbatasannya itu, maka dalam memahami wilayah ketuhanan harus memakai akal yang didasari iman.
Sedangkan nafsu dapat menjadi hijab dalam memandang Alloh karena nafsu menghendaki kesenangan duniawi semata. Maka bagi orang yang terpedaya dengan nafsunya niscaya akan sulit memandang Alloh. Sebab salah satu karakter nafsu adalah selalu mengajak untuk berpaling dari Alloh.
Sesungguhnya hijab adalah selimut diri-Nya. Dibalik hijab tersimpan sebuah rahasia wujud Kemaha Perkasaan-Nya dan ke-Elokan-Nya. Jika seorang hamba telah menyingkap hijab, maka akan menemui dirinya fana' (sirna) dan bersemayam di baqa' billah (kekal dengan Alloh). Setelah memahami berbagai hijab, baik hijab dunia maupun hijab ruhani, dapat dimengerti betapa hidup seorang hamba dipenuhi oleh pergulatan demi pergulatan untuk menyingkap hijab. Dimanapun, kapanpun, bahkan dalam setiap tarikan nafasnya. Adalah merupakan sebuah anugerah, bila diberi kemampuan dapat mencermati setiap pergulatan menuju kepada-Nya. Karena sesungguhnya hanya Allah sajalah yang dapat menyingkap hijab-hijab wujud-Nya.
*** Dikutip dari Majalah "KASYAF" Edisi 2. KASYAF adalah majalah Kajian Tauhid dan Hakikat yang terbit setiap dua bulan sekali.

3 komentar:

  1. Assalammu 'alaikum wr wb,
    Menarik postingnya.
    Sy hanya mau komentar sdkit, brgkali "memandang Allah" lebih jelas disebut sebagai "bisa memahami pantulan cahaya kebenaran-Nya dgn relatif amat jelas" atau "bisa menyaksikan pantulan cahaya kebenaran-Nya dgn relatif amat terang".
    Sedangkan tiap hijab adalah tiap tingkat perbedaan antara kebenaran-pengetahuan 'mutlak' milik Allah dan kebenaran-pengetahuan 'relatif' milik makhluk.
    Itu dulu sementara, uraian lbh lengkap bisa dibaca pada "Metode pencapaian pemahaman Al-Hikmah" (http://islamagamauniversal.wordpress.com/2011/11/14/metode-pencapaian-pemahaman-al-hikmah/).

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas komentarnya, maaf terlambat... terima kasih juga atas masukan dan nasehatnya wassalamu 'alaikum wr wb

    BalasHapus